TIFAMALUKU.COM – Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Eddy Samrah Limbong, bersama mantan Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari SBT, Rinaldo Sampe, diduga telah menghalangi pengembalian kerugian keuangan negara.
Atas dugaan ini, keduanya akan dilaporkan langsung oleh Moh Irwan Mansur selaku kuasa hukum ZA (Kontraktor), ke Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI)
Sebelumnya, Irwan menjelaskan adanya larangan Pendampingan Hukum terhadap kliennya (ZA dan TR) oleh mantan Kasi Pidsus Kejari SBT, Rinaldo Sampe.
Padahal, kliennya bukan di periksa oleh Penyidik/Jaksa pada Kejari SBT, namun untuk memberikan klarifikasi dan konfirmasi oleh tim Ahli BPKP Perwakilan Provinsi Maluku, terkait perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi atau Penyimpangan dalam Pekerjaan Pembangunan Ruang NICU Dinas Kesehatan Kabupaten SBT.
“Larangan tersebut tidak mematahkan semangat saya sebagai seorang Pengacara yang punya tanggung jawab hukum terhadap klien saya berdasarkan UU/18/2023 Tentang Advokat. Saya tetap melakukan pendampingan sampai selesai, tanpa mengindahkan larangan Jaksa ini,” ungkap Irwan kepada Wartawan di Ambon Minggu (29/10/2024).
Dikatakan, Jaksa atau Mantan Kasi Pidsus tersebut mempersoalkan bahwa tidak ada satu pasal pun di dalam KUHAP yang mengatur saksi/terperiksa di wajibkan untuk di dampingi oleh seorang Pengacara di tingkat penyelidikan maupun penyidikan.
Pertanyaannya, apakah KUHAP memberikan wewenang kepada Penyidik/Jaksa melarang seorang saksi sebagai Warga Negara Indonesia menunjuk Pengacara atas kesaksiannya di tingkat Penyelidikan maupun Penyidikan satu perkara pidana??
“Sebagai warga Negara Indonesia, klien saya punya hak untuk menunjuk Pengacara. Apalagi ini berkaitan dengan proses klarifikasi dan konfirmasi oleh Ahli BPKP Perwakilan Provinsi Maluku, bukan dalam konteks dia di priksa oleh Penyidik/Jaksa pada Kejaksaan Negri Kabupaten SBT. Dalam proses pendampingan, BPKP Perwakilan Provinsi Maluku juga tidak keberatan, apalagi Jaksa tersebut sudah tidak bertugas di Kejaksaan Negri Kabupaten SBT,” tuturnya.
Irwan menjelaskan, ZA (Klien Irwan) hadir di Kejaksaan Negri Kabupaten SBT untuk proses konfirmasi/klarifikasi pada hari Sabtu 7 September 2024.
Selanjutnya, diketahui Jaksa atau mantan Kasi Pidsus pada Kejaksaan Negri SBT ini sudah tidak lagi bertugas di Kejaksaan Negri Kabupaten SBT sekitar satu atau dua bulan yang lalu.
“Jaksa semacam ini tidak di butuhkan dalam proses penegakkan hukum di Negri ini,” ujarnya.
Irwan membeberkan, ada beberapa perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi yang terkesan terburu-buru dan dinilai di paksakan serta tidak sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam KUHAP.
Misalnya penetapan tersangka terhadap Dir. RSU. P. Gorom yang pada akhirnya lewat rekan-rekan Pengacara di SBT mengajukan Praperadilan dan di kabulkan oleh Hakim pada Pengadilan Negri Dth. Kabupaten SBT.
“Dengan di kabulkannya permohonan praperadilan atas penetapan tersangka Dir. RSU. P. Gorom itu, menjadi contoh buruk dari kerja Jaksa-jaksa Pidana Khusus, baik di Kejaksaan Negri Kabupaten SBT maupun Kejaksaan Cabang Negri Seram Timur, Geser,” paparnya.
Pada saat pendampingan hukum untuk kliennya yang lain (TR), dengan kapasitas sebagai saksi dalam kasus yang sama, Irwan mengaku, kliennya bukan dimintai keterangan dalam konteks klarifikasi/konfirmasi oleh tim Ahli BPKP perwakilan Provinsi Maluku atas temuan BPK tetapi di cecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang masuk pada wilayah penyidik.
“BPKP sudah tidak lagi bekerja sesuai kewenangan yang di berikan oleh UU, dimana BPKP hanya sebatas mengaudit kerugian keuangan Negara, bukan mengejar unsur yang adalah ranah kerja Penyidik Kejaksaan,” tegasnya.
Menurut irwan, pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepada kliennya (TR) oleh BPK Perwakilan Provinsi Maluku, seperti pertanyaan-pertanyaan yang di duga sudah di siapkan oleh Penyidik Kejaksaan Negri Kabupaten SBT dengan tim Ahli BPKP perwakilan Provinsi Maluku.
Sementara itu, untuk persoalan kliennya (ZA) saat ini, Irwan merasa ada kejanggalan-kejanggalan dalam kasus ini sejak awal penyelidikan sampai di paksakan naik ke tahap penyidikan.
Temuan kerugian keuangan Negara menurut BPK sebesar 12 Juta Rupiah dan denda keterlambatan 30 Juta Rupiah sekian, sehingga jika ditotalkan hanya 50 jutaan, namun denda keterlambatan bukan termasuk kategori tindak pidana, tapi lebih ke arah perdata.
“Klien saya ZA sudah melakukan pengembalian sebesar 15 sampai 17 juta berdasarkan bukti, seharusnya klien saya di berikan ruang untuk melakukan pengembalian kerugian keuangan Negara, kalau kerugian dengan nilai begitu. Tapi ini malah di paksakan untuk di naikan ke tahap penyidikan,” katanya.
Lebih kesal lagi, lanjut Irwan, ada salah satu item yang di kerjakan dengan nilai ratusan juta rupiah, diluar dari R.A.B, atas inisiatif kliennya (ZA) menggunakan anggaran dari Proyek tersebut, tidak di masukan sebagai hal-hal yang menguntungkan kliennya sebagai Kontraktor.
“Logikanya, apabila selasar yang di bangun dengan nilai ratusan juta rupiah itu di hitung dengan nilai temuan BPK, otomatis tidak ada kerugian keuangan Negara,” tukasnya.
Menindak lanjuti persoalan ini, Pengacara Muda itu menegaskan, dalam waktu dekat dirinya akan menyurati Kejati Maluku untuk mengevaluasi Jaksa atau mantan Kasi Pidsus tersebut, terkait dengan kerja-kerja Jaksa yang tidak sesuai prosedur.
Mantan Kasi Pidsus itu juga akan dilaporkan, karena diduga ikut memakai bendera milik WS (Kontraktor) untuk tangani proyek pagar lingkar serta paving blok kantor Kejari SBT, Mes Pegawai, dan Proyek Solar Sel.
Kasi Pidsus ini juga diduga sengaja tidak menindak lanjuti laporan terhadap WS atas temuan BPK dalam proyek pembangunan pagar Rumah Sakit Banghoi, dengan nilai sebesar 140 Juta.
“Patut diduga mantan Kasi Pidsus ini ingin mengamankan atau melindungi kontraktor tersebut,” ucapnya.
Selain meminta Kejati Maluku Evaluasi Mantan Kasi Pidsus tersebut, Irwan juga akan melaporkan Kepala Kejaksaan Negri SBT, Eddy Samrah Limbong, ke bagian Pengawasan Kejaksaan Agung RI.
“Kerugian negara hanya 50 hinga 100 Juta untuk dua kasus yang berbeda, Jaksa Pidana Khusus Kejaksaan SBT memaksakan untuk naik ke tahap penyidikan apalagi sampai penetapan tersangka tanpa mempertimbangkan instruksi Kejagung, kemudian menggunakan biaya operasional penanganan perkara dengan nilai ratusan juta rupiah. Kalau seperti ini, justru Kapala Kejaksaan SBT dan mantan Kasi Pidsus yang merugikan negara,” tandasnya. (TM/17)